Senin, 08 Juni 2015

Makalah Peranan Perbankan Indonesia dalam Menunjang / Mendukung Perdagangan Luar Negeri Khususnya dengan Menggunakan LC (Letter of Credit)

BAB I

PENDAHULUAN



1. LATAR BELAKANG      Perdagangan antar negara sekarang ini sudah merupakan hal yang umum dan biasa. Transaksi dapat berjalan lancar dan dalam waktu yang tidak lama. Jika dibandingkan pada masa 15 tahun sebelumnya dimana peralatan dan sarana belum memadai sehingga untuk melakukan suatu transaksi internasional membutuhkan waktu yang lama. Peningkatan tehnologi dalam segala bidang ini sangat membantu negara-negara yang membutuhkan bantuan negara lain untuk mengolahnya produk yang dihasilkan dalam negerinya tetapi masih dalam bentuk setengah jadi. Pedagang, dalam hal ini eksportir/penjual dan importir/pembeli dalam melakukan transaksi melahirkan hak dan kewajiban, baik bagi pihak eksportir maupun bagi pihak importir. Eksporitr wajib menyerahkan barang sesuai dengan perjanjian dan berhak menerima sejumlah pembayaran atas harga barang yang telah diserahkan/dijual. Sedangkan importir wajib menyerahkan sejumlah uang untuk membayar atau melunasi harga barang yang telah diterima/ dibeli dan berhak menuntut penyerahan barang yang telah dibayar/dilunasi harganya tersebut.
     Transaksi perdagangan yang para pihaknya berada disuatu tempat yang sama dan saling berhadapan, maka pemenuhan hak dan kewajibannya tidak mengalami banyak masalah karena hak dan kewajiban tersebut dapat dilaksanakan secara langsung (cash and carry). Akan tetapi apabila pembeli dan penjualnya terpisah, antar negara, maka akan menimbulkan beberapa masalah karena perbedaan-perbedaan yang antara lain :

perbedaan penerapan peraturan oleh sistem hukum masing-masing negara Dalam perdagangan internasional sering terjadi bahwa suatu perjanjian jual beli tidak dapat terlaksana dengan baik disebabkan adanya larangan dari Pemerintah setempat untuk membeli (mengimpor) atau menjual (mengekspor) komoditi tertentu yang merupakan obyek jual beli.

perbedaan penggunaan mata uang dalam bertransaksi
Penggunaan mata uang asing, nilai tukar mata uang asing tersebut terhadap mata uang setempat harus diperhitungkan dengan cermat agar pihak pembeli tetap mampu membayar bila terjadi devaluasi pada saat harus membayar harga barang yang diterima atau pihak penjual tetap memenuhi standar mutu barang sesuai dengan perjanjian meskipun harus mengalami kerugian.

perbedaan kebiasaan-kebiasaan umum termasuk istilah-istilah setempat.
Demikian pula dalam melakukan pembayaran transaksi face to face , pembeli akan melakukan pembayaran atas harga barang yang dibeli/diterimanya jika ia telah merasa yakin bahwa kondisi barang yang diterimanya itu sudah sesuai dengan kehendaknya, baik mutu maupun jumlahnya sehingga terjadilan pembayaran secara tunai (cash payment) atau secara kredit. Dalam perdagangan internasional, para pihak tidak berhadapan langsung dan barang yang akan dibeli juga tidak dilihat atau diteliti secara langsung sehingga adalah sangat berisiko tinggi apabila pembeli langsung melakukan pembayaran harga barang yang belum diterima.
    Di Indonesia, ketentuan perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 Buku III Bab V Burgerlijk Wetboek (BW). Dari 83 pasal ini, tidak satupun pasal yang mengatur tentang cara pembayaran yang harus digunakan dalam perdagangan. Hal ini disebabkan karena sistem hukum perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka dengan azas kebebasan berkontrak, azas konsensualitas terbuka dan azas kekuatan mengikat dari perjanjian. Ketentuan-ketentuan dalam BW hanya mengatur hal-hal pokok tentang perjanjian jual beli yang umumnya bersifat pelengkap dan akan digunakan jika ada hal-hal yang belum diatur pada perjanjian para pihak. Misalnya dalam Pasal 1478 BW diatur bahwa penjual tidak wajib menyerahkan barang jika pembeli belum melakukan pembayaran. Apabila dalam perjanjian jual beli antara penjual dengan pembeli disyaratkan bahwa penjual harus menyerahkan barangnya terlebih dahulu kemudian setelah pembeli menerima barang tersebut baru dilakukan pembayaran maka jika penjual menolak menyerahkan barang dengan alasan pembeli belum membayar maka penjual dapat dianggap wanprestasi.
     Ketentuan mengenai pembayaran, hanya disebutkan dalam pasal-pasal tentang kewajiban pembeli, yaitu Pasal 1513 BW, bahwa kewajiban utama Pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan tempat yang ditentukan dalam perjanjian dan Pasal 1514 BW mengatur bahwa jika penentuan waktu dan tempat tidak diperjanjikan maka akan dilakukan pada waktu terjadi penyerahan barang. Jadi yang diatur hanya mengenai waktu dan tempat pembayaran bukan cara pembayaran, sehingga para pihak bisa menentukan sendiri cara pembayaran dalam perjanjian mereka.
     Pembayaran pada transaksi dunia perdagangan di samping dilakukan dengan cara tunai (cash payment), dikenal pula beberapa cara lain, yaitu :

·
Pembayaran dimuka (Advance Payment)
Pembayaran yang dilakukan terlebih dahulu oleh pembeli kepada penjual sebelum barang diterima, bahkan barang tersebut belum dikapalkan. Dalam pembayaran ini kedudukan antara pembeli dengan penjual tidak seimbang, artinya kedudukan penjual sangat diuntungkan karena penjual telah menerima pembayaran dari barang yang belum dikirim sedang pembeli menghadapi risiko pengiriman barang yang sepenuhnya tergantung dari penjual.

·
Pembayaran Kemudian (Open Payment)
Pembayaran ini kebalikan dari pembayaran dimuka, dimana pembayaran baru akan dilakukan oleh pembeli setelah menerima barang yang dipesannya. Dalam pembayaran ini kedudukan pembeli lebih diuntungkan karena pembeli telah menerima barang yang belum dibayar sehingga penjual akan menghadapi risiko pembayaran yang sepenuhnya tergantung pada pembeli. Pembayaran ini sering juga dikenal dengan istilah Open Account.

·
Collection Draft (Wesel Inkasso)
Pembayaran hanya akan dilakukan oleh pembeli kepada penjual jika pembeli telah menerima dokumen-dokumen barang baik berupa financial document maupun commercial document yang dikirim oleh penjual.

·
Konsinyasi (Consigment)
Pembayaran akan dilakukan oleh pembeli jika barang yang dititipkan oleh penjual sudah terjual semuanya. Jadi pembeli dalam hal ini hanya sebagai tempat penitipan untuk menjualkan barang. Apabila barang yang dititip jual tersebut belum terjual maka penjual tidak bisa menuntut pembayaran dari pembeli meskipun barang tersebut telah lama berada ditangan pembeli. Pembayaran ini jelas lebih menguntungkan pembeli, karena pembeli tidak perlu menyediakan modal dan tidak menghadapi risiko kerugian akibat barang yang dijualnya tidak laku. Kebalikannya, penjual menghadapi risiko pembayaran yang sangat tergantung kepada niat baik pembeli.

·
Surat Kredit Berdokumen (Letter of Credit)
Surat Kredit Berdokumen atau Letter of Credit yang biasa disingkat dengan L/C, merupakan surat yang diterbitkan oleh bank atas nama nasabahnya yang bertindak sebagai pembeli untuk kepentingan penjual/beneficiary, yang berisikan kesanggupan membayar sejumlah tertentu kepada penjual/beneficiary melalui bank beneficiary jika beneficiary melengkapi semua dokumen yang disebutkan dalam L/C tersebut dan menyerahkannya kepada bank beneficiary.
Dari berbagai cara pembayaran yang dikenal dalam dunia perdagangan maka cara pembayaran dengan letter of credit lah yang paling menguntungkan kedua belah pihak karena kedudukan pembeli / importir maupun penjual / eksportir seimbang. Impotir menyerahkan sejumlah uang yang merupakan pembayaran atas harga pembelian barangnya kepada bank untuk dibukakan atau diterbitkan L/C yang ditujukan kepada eksportir melalui bank korespondennya di tempat eksportir berada. Selanjutnya eksportir menyediakan semua dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut dan menyerahkan ke bank untuk dinegosiasikan. Jadi secara otomatis dan tanpa syarat apapun eksportir melalui perantara Bank Pembuka L/C dan Bank Pembayar akan membayar kepada eksportir jika dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut telah dipenuhi oleh eksportir dan diserahkan ke Bank Pembayar. Kedudukan bank dalam hal ini hanya bertindak sebagai penengah atau perantara karena tidak memihak kepada importir maupun eksportir pada waktu pembayaran dilakukan dan juga sekaligus bertindak sebagai penjamin karena  :

a. Bank telah dipercaya dan dikenal bonafiditasnya baik oleh si pembeli maupun oleh sipenjual.

b. Sesuai fungsinya yang berkecimpung dibidang keuangan yang setiap transaksi perdagangannya baik dalam bentuk rupiah maupun dalam bentuk valas dimonitori oleh Pemerintah.
c. Bank tertentu, yang telah mempunyai hubungan operasionil keseluruhan dunia sehingga memudahkan pelaksanaan mekanisme pembayaran melalui bank.
Itulah sebabnya maka cara pembayaran dengan L/C yang paling aman dan banyak digunakan dalam perdagangan internasional.

Rumusan Masalah


Bagaimana peranan perbankan di Indonesia dalam menunjang/ mendukung perdagangan luar negri khusunya dengan menggunakan LC ( Letter of Credit ) ?


BAB II

PEMBAHASAN

Dasar hukum penggunaan L/C sebagai cara pembayaran adalah Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 yang mana dalam Pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah ini mengemukakan bahwa pembayaran ekspor dan impor dapat dilakukan dengan metode Letter of Credit dan metode Non Letter of Credit. Dalam pelaksanaannya L/C yang digunakan adalah yang diatur dalam Uniform Custom and Practice for Documentary Credit, Revisi 1993, Publikasi ICC No. 500 atau biasa disingkat menjadi UCP No. 500 Revisi 1993, hal ini dikemukakan dalam ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1982 yaitu Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993 dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1994 sampai saat ini.
Jenis-Jenis L/C :

L/C yang dapat diterbitkan oleh bank bermacam-macam sifat dan jenisnya, antara lain :


  • Revocable Letter Of Credit
L/C yang dapat ditarik kembali atau dibatalkan kapan saja dan tidak mengikat pihak manapun juga walaupun tanggal jatuh temponya belum berakhir.

Bentuk L/C ini sangat jarang digunakan dalam transaksi perdagangan, baik dalam perdagangan ekspor impor maupun dalam perdagangan interinsuler karena risiko yang sangat besar. L/C ini sewaktu-waktu dapat ditarik atau dibatalkan oleh pihak pembuka L/C tanpa pemberitahuan terlebih dahulu ke pihak lainnya yang ada hubungannya dengan L/C tersebut dengan syarat pihak pembuka L/C harus membayar kembali kepada pihak bank lain yang telah melakukan pembayaran sebelum menerima pemberitahuan pembatalan ini.


Bentuk L/C ini hanya menguntungkan pihak pembeli dan sangat merugikan pihak penjual. Posisi penjual setiap saat bisa dirugikan meskipun kesalahan / kelalaian bukan berada dipihaknya. Menurut Hartono Hadisoeprapto (1984: 30), revocable L/C ini akan menempatkan penjual dalam posisi yang kurang menguntungkan dan bank di Indonesia dilarang untuk menerbitkan revocable L/C.


  • Irrevocable Letter Of Credit
L/C yang tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan dari pihak-pihak yang terlibat, yakni pembeli, penjual dan pihak bank yang bersangkutan sebelum masa berlakunya berakhir. Selama masih dalam jangka waktu berlaku L/C tersebut, pembayaran L/C itu tetap dijamin oleh bank pembuka. Untuk melakukan perubahan atas L/C ini jika ada kekeliruan maka harus sepengetahuan dan ada persertujuan dari penjual dan pihak bank pembuka L/C. Berdasarkan pembayaran yang akan dilakukan oleh bank pembuka maka Irrevocable L/C ini terbagi atas 2 macam, yaitu :
a. Irrevocable Unconfirmed L/C

Irrevocable L/C yang hanya diadvis (dikonfirmasikan/diteruskan) melalui bank lain tanpa ada kewajiban lain lagi bagi bank tersebut, misalnya menjamin pembayaran L/C itu dari Advising Bank atau Bank Penerus tersebut.

b. Irrevocable Confirmed L/C

Irrevocable L/C yang disamping diadviskan ke bank lain juga Advising Bank tersebut menjamin pembayaran L/C itu, disamping oleh Bank Pembuka. L/C ini merupakan L/C yang paling aman bagi penjual karena disamping tidak bisa dibatalkan tanpa persetujuan dari semua pihak yang terlibat dalam L/C tersebut juga pembayarannya masih dijamin oleh Advising Bank dan Opening Bank.

  • Usance L/C
L/C yang pembayarannya dilakukan oleh negotiating bank atau bank pembayar ke penjual pada saat jatuh tempo waktu yang ditentukan dalam L/C tersebut. Jadi barang sudah dikapalkan dan semua dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut sudah diserahkan ke negotiating bank atau bank pembayar tetapi pembayarannya masih harus menunggu suatu jangka waktu tertentu —sesuai dengan yang ditentukan dalam L/C— baru dilakukan oleh negotiating bank atau bank pembayar ke penjual. Jangka waktu pembayaran ini bervariasi antara 30 hari sampai 360 hari setelah tanggal pengapalan barang.
  • Sight L/C
L/C yang pembayarannya dilakukan oleh negotiating bank atau bank pembayar ke penjual pada saat barang sudah dikapalkan dan semua dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut sudah diserahkan ke negotiating bank atau bank pembayar.
  • Red Clause L/C
L/C yang pembayarannya dilakukan oleh negotiating bank atau bank pembayar ke penjual yang juga merupakan penerima L/C, pada saat penjual menerima L/C tersebut. Jadi pembayaran sebesar nilai L/C atau sejumlah persentase tertentu dari nilai L/C sudah dilakukan meskipun barang belum dikapalkan dan semua dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut juga belum diserahkan ke negotiating bank atau paying bank.
  • Transferable L/C
L/C yang dapat dipindah tangankan atau dijual oleh eksportir kepada pihak ketiga. Meskipun transferable L/C ini dapat dipindah tangankan atau dijual tetapi L/C ini bukan merupakan surat berharga, yaitu surat yang dapat diperdagangkan karena L/C ini hanya boleh dipindah tangankan satu kali saja.
  • Non Transferable L/C
L/C yang tidak dapat dipindah tangankan atau tidak dapat dijual oleh eksportir kepada pihak ketiga. Yang berhak atas L/C tersebut hanyalah eksportir/penjual yang namanya dissebut secara jelas dalam L/C tersebut.
  • Documentary L/C
L/C yang mewajibkan penjual untuk menyerahkan  :  – transport document, berupa dokumen barang dan dokumen pengapalan yang merupakan bukti pemilikan barang; dan
– financial document, berupa bill of exchange atau wesel untuk mendapatkan pembayaran L/C tersebut dari bank pembayar.

  • Clean L/C
L/C yang hanya mewajibkan penjual untuk menyerahkan financial document berupa bill of exchange atau wesel untuk mendapatkan pembayaran L/C tersebut dari bank pembayar.
  • Revolving L/C
L/C yang secara otomatis bisa berlaku berulang kali tanpa membuka L/C baru lagi. L/C ini digunakan untuk pengiriman barang yang tidak sekaligus tetapi secara bertahap dimana setiap kali pengiriman barang, jumlah barang yang dikirim dan nilai nominal L/C tersebut selalu sama. L/C ini baru berakhir apabila total jumlah pengiriman barang telah sama dengan kontraknya.

Berdasarkan sifatnya, maka Revolving L/C ini dibedakan atas   :

– Revolving L/C Commulative
Nilai L/C yang belum direalisasi akan digunakan untuk pengiriman barang selanjutnya sehingga pada penggunaan terakhir L/C ini, total nilai tahapan tersebut sama dengan nilai semula.
– Revolving L/C Non-Commulative
Nilai L/C yang direalisasi jika ada sisanya, maka sisanya ini dihapus dan untuk penggunaan berikutnya tetap akan menggunakan nilai L/C yang semula. Jadi setiap kali penggunaan L/C ini nilainya selalu sama meskipun realisasinya tidak sama dan hanya dapat digunakan selama jangka waktu L/C belum berakhir.

  • Back to Back L/C
L/C yang diterbitkan oleh bank pembuka atas permintaan nasabahnya (yang akan menerima L/C) dengan menjaminkan L/C yang akan diterimanya pada bank pembuka tersebut. L/C yang dijadikan jaminan ini biasanya disebut Master L/C atau L/C Induk. Dalam hal ini bank pembuka back to back L/C adalah juga merupakan bank pembayar atas Master L/C atau Induk L/C dan kedudukan penerima Master L/C adalah sebagai penjual dan kedudukannya terhadap back to back L/C adalah sebagai pembeli.
  • Standby L/C
Clean L/C yang diterbitkan oleh bank pembuka untuk dijadikan jaminan atau garansi atas suatu transaksi yang memerlukan pembayaran secara bertahap.

Proses Penerbitan dan pembayaran Letter of Credit


Dalam proses dan mekanisme Letter of Credit menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 29/150/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1996 dikemukakan 2 hal utama, yaitu :


1. Proses Penerbitan Letter of Credit


Setiap permohonan penerbitan Letter of Credit oleh Pembeli pada bank harus disertai perjanjian jual beli atausales contract antara Pembeli itu dengan Penjual -orang yang tercantum namanya sebagai penerima L/C-. Sales Contract ini merupakan dasar untuk membuka L/C, karena apa yang disyaratkan dalam sales contractinilah yang dituangkan menjadi syarat L/C pula. Mulai dari jenis barang yang dibeli, kapan barang tersebut harus dikirim atau dikapalkan, harga, kuantitas, kualitas barang yang dikirim dan syarat/cara pembayarannya. Kesepakatan antara Penjual dengan Pembeli bahwa cara pembayaran dengan L/C mengharuskan Pembeli yang merupakan pihak pemohon pembukaan L/C, memohon ke bank agar diterbitkan L/C dengan syarat-syarat yang sama dalam sales contractnya dan syarat-syarat umum lainnya.


Proses terbitnya suatu L/C, mulai dari masuknya permohonan pembukaan L/C sampai diterbitkannya L/C tersebut secara umum adalah sebagai berikut :


  1. Pembeli atau Applicant menghubungi banknya dan menyatakan maksudnya akan membuka L/C, dengan mengisi formulir permohonan pembukaan L/C yang sudah dibakukan dari bank. Dalam formulir tersebut telah tersedia kolom tentang kondisi/syarat yang dikehendaki Pembeli/Applicant dalam L/C nya.
  2. Formulir permohonan dari Pembeli/Applicant akan diperiksa apakah tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Jika tidak dan setelah pemohon menyerahkan sejumlah dana sebagai jaminan atas penerbitan L/C maka bank ini akan menerbitkan L/C, yang telah diberi nomor register dan tanggal penerbitan L/C tersebut. Bank yang menerbitkan L/C ini disebut Opening Bank / Issuing Bank. Opening Bank akan meneruskan L/C nya langsung ke bank Penjual apabila bank Penjual tersebut adalah koresponden banknya, jika bukan maka akan melalui bantuan bank penerus ke bank Penjual. Kedudukan bank Penjual sebagai Paying Bank / negotiation Bank, tergantung dari hubungannya dengan issuing Bankdan syarat dari L/C itu sendiri.
  3. Bank Penerima L/C akan meneruskan L/C itu ke Bank Penjual apabila Bank Penjual merupakan bank penerus dan Bank Penjual akan menghubungi Penjual untuk menyampaikan bahwa ada L/C untuknya.
Jadi dalam proses penerbitan L/C ini minimal melibatkan 4 pihak, yaitu:
– Pembeli / importir / applicant , yang juga merupakan pihak pemoho penerbitan L/C;
– Opening /Issuing Bank , pihak yang menerbitkan L/C
– Paying / Negotiating Bank, pihak yang meneruskan L/C ke penjual
– Penjual / Beneficier / eksportir, pihak penerima L/C.

2.  Proses Pembayaran Letter of Credit
          Setelah suatu L/C yang telah diterima oleh Bank Penjual dan memberikan ke Penjual maka proses pembayaran L/C tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Berdasarkan L/C yang diterima, Penjual menyiapkan barang yang akan dikirim dan sekaligus mengurus semua perlengkapan dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam L/C tersebut lalu menyerahkan ke pihak bank Penjual.
  2. Bank Penjual yang bisa merupakan Paying Bank atau Negotiating Bank itu akan menerima dokumen dari Penjual dan memeriksanya.  Bila dokumen-dokumen tersebut sudah sesuai dengan yang disyaratkan dalam L/C maka bank akan mengambil alih atau menerima semua dokumennya dan melakukan pembayaran kepada Penjual sebesar nilai nominal yang tercantum dalam L/C setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang telah ditetapkan oleh bank.
  3. Selanjutnya Paying Bank mengirim dokumen-dokumen yang diterima dari Penjual ke issuing Bank.  Bank Pembayar hanya akan mengirim dokumen barang ke   issuing Bank   jika Bank Pembuka adalah Bank Penegosiasi dan dokumen keuangannya (financial documents) ke Bank Tertarik.  Penentuan suatu Bank Pembuka adalah Bank Penegosiasi atau Bank Tertarik atau kedua-duanya tergantung dari hubungan Bank Pembuka dengan Bank Penegosiasi atau Bank Tertarik dan hal ini sudah ditentukan dalam L/C nya.
  4. Setelah Bank Pembuka   -baik sebagai Bank Penegosiasi atau Bank Tertarik atau kedua-duanya-  menerima dokumen tersebut maka diperiksanya.  Jika dokumen-dokumen itu sudah sesuai dengan syarat yang diminta dalam L/C maka Bank Pembuka atau Bank  Tertarik akan membayar kepada Bank Pembayar atas biaya-biaya yang telah dikeluarkannya.  Sedangkan Bank Penegosiasi tidak akan melakukan lagi pembayaran ke Bank Pembayar.
  5. Bank Pembuka menyampaikan ke pembeli bahwa dokumen-dokumen atas L/C yang dibuka telah ada.
  6. Pembeli membayar semua biaya yang telah dikeluarkan oleh Bank Pembuka setelah diperhitungkan dengan jaminan awal yang telah diserahkan Pembeli pada waktu L/C akan diterbitkan.
  7. Bank menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada Pembeli dan dokumen-dokumen itu kemudian digunakan untuk pengambilan barang oleh Pembeli.
            Dari proses penerbitan dan  pembayaran Letter  of  Credit dapat dilihat bahwa yang menentukan dilakukannya pembayaran atas suatu L/C tergantung pada kelengkapan dokumen yang ditentukan dalam L/C.  Secara garis besar dokumen-dokumen L/C ada 2 macam,  yaitu :
  1. dokumen financial, yang terdiri dari wesel/draft
  2. dokumen barang, yang antara lain adalah commercial Invoice, Bill of Laiding, Packing List, Insurance Policy, Certificate of Origin, Certificate of Quality, Certificate of Health, PEB dan lain-lain tergantung dari jenis barang yang diperjual belikan.
Jenis dokumen barang yang disyaratkan dalam L/C ini tergantung dari kesepakatan para pihak apa yang diinginkan selain mengikuti kebiasaan umum dalam perdangan jenis objek jual beli tersebut.
            Apabila dokumen yang disyaratkan dalam L/C tidak sama persis dengan dokumen yang diajukan oleh eksportir atau terdapat penyimpangan-penyimpangan maka yang dapat dilakukan oleh Paying Bank adalah :
  1. menunda pembayaran dan mengembalikan dokumen tersebut ke eksportir untuk diperbaiki.
  2. menyarankan / meminta agar eksportir segera menghubungi importir untuk dilakukan perubahan/amandement atas syarat-syarat L/C agar sesuai dengan kondisi dokumen eksportir.
  3. melakukan pembayaran dengan ada jaminan dari eksportir bahwa pembayaran akan dikembalikan apabila issuing bank menolak melakukan pembayaran karena penyimpangan tersebut.
Paying Bank tidak berwenang untuk merubah atau menafsirkan lain  persyaratan dokumen dalam L/C.  Apabila atas inisiatif Paying Bank melakukan pembayaran terhadap L/C yang persyaratannya tidak sesuai dengan L/C maka issuing bank berhak  menolak  penggantian uang paying bank yang telah diterima oleh eksportir, hal ini merupakan tanggung jawab paying bank sendiri.
            Keadaan barang yang tidak sesuai dengan hal yang tertera dalam dokumen terlampir, ini bukan merupakan tanggung jawab dari bank.   Importir dapat menggugat eksportir melalui pengadilan atau arbitrase, hal ini tergantung perjanjian mereka yang mengatur tentang cara penyelesaian jika terjadi perselisihan.  Bank hanya berurusan dengan dokumen oleh karena itu tidak bertanggung jawab terhadap kondisi barang yang sebenarnya.
            Cara pembayaran dengan L/C ini peranan bank sangat penting karena tanpa bank maka tidak ada L/C  yang diterbitkan.  Tujuan bank bertindak sebagai penjamin atas transaksi jual beli yang dilakukan oleh applicant / importir dengan beneficier / eksportir adalah untuk mendapat profit dari jasa yang diberikan dan disamping itu juga untuk menunjukkan eksistensinya dan reputasinya sebagai bank yang dipercayai diluar negeri.  Menurut ketentuan Bank Indonesia maka sekali bank telah menerbitkan L/C maka tidak dapat lagi membatalkan L/C tersebut dengan alasan apapun kecuali L/C tersebut yang sendiri tidak berlaku lagi karena kadaluwarsa, maksudnya karena telah melewati jangka waktu berlakunya L/C sebagaimana telah ditentukan dalam L/C tersebut sendiri.  Hal ini untuk mencegah pembatalan L/C yang dapat merugikan salah satu pihak yang telah mengeluarkan biaya untuk penyediaan barang.   Oleh karena itu issuing bank bertanggung jawab sepenuhnya atas L/C yang diterbitkan sepanjang semua syarat dalam L/C telah dipenuhi.
                                                                        BAB III
                                       PENUTUP
KESIMPULAN
–       Cara pembayaran dengan L/C pada perdagangan internasional  adalah paling aman, baik dilihat dari segi importir maupun eksportir. Masing-masing terlindungi kepentingannya, importir kepentingannya telah dituangkan dalam syarat-syarat  yang harus dipenuhi oleh eksportir.  Apabila syarat-syarat  yang  disebutkan dalam L/C tidak dipenuhi  oleh eksportir maka eksportir tentu tidak mendapat pembayaran dari negotiating Bank.  Sedangkan kalau semua syarat dalam L/C dipenuhi oleh eksportir maka ia berhak atas sejumlah uang yang telah disebutkan dalam nominalL/C tersebut.
 – Cara pembayaran dengan L/C pada perdagangan internasional  menurut teorinya dapat dibatalkan tetapi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia maka berdasarkan Surat  L/c yang telah diterbitkan tidak dapat dibatalkan dengan alasan apapun.


SARAN
      Melihat pentingnya fungsi L/C sebagai salah satu cara pembayaran yang digunakan dalam perdagangan internasional maka sebaiknya ketentuan L/C ini dibuat dalam bentuk peraturan yang lebih tinggi misalnya Peraturan Pemerinah bukan hanya merupakan Surat Keputusan Bank Indonesia.
REFERNSI:

KLIRING

DEFINISI KLIRING

Kliring adalah salah satu cara penyelesaian utang piutang antar bank-bank  peserta kliring yang berbentuk surat-surat berharga. Dalam dunia perbankan kliring menunjukan sebuah jalannya kegiatan hingga selesai setelah perjanjian misalnya sebuah transaksi. Kliring ini memastikan semuanya menjadi clear dan berjalan sesuai dengan aturan pasar, meskipun proses kliring dalam kesepakatan yang berjalan tidak berhasil diselesaikan oleh kedua belah pihak yakni penjual dan pembeli. Dalam proses kliring yang dilibatkan didalamnya antara lain adalah manajemen dari paska perdagangan dan pra ekposur kredit.


JENIS-JENIS KLIRING


Ada tiga jenis-jenis kliring yang ada di perbankan yaitu kliring umum, kliring lokal dan yang terakhir kliring antar cabang.

  1. Kliring umum adalah penghitungan warkat antar bank, di atur oleh Bank Indonesia.
  2. Kliring lokal adalah penghitungan warkat antar bank yang masih dalam satu wilayah. 
  3. kliring antar cabang adalah penghitungan warkat antar bank yang masih dalam satu wilayah cabang bank peserta.
 JADWAL KLIRING

Siklus kliring trbagi atas dua siklus kliring, yaitu:
Siklus pertama adalah pengrimian data keuangan elekteonik kredit. Pengirimannya terbagi atsa dua  sesi yaitu pada pukul 08.15 WIB s/d 11.30 WIB dan sesi kedua pada 12.45 WIB dan 15.30.
Siklus kedua adalah siklus debet pengiriman warkat/data keuangan elektronik debet ditetapkan oleh masingmasing PKL dengan batas maksimal pengiriman hasil perhitungan kliring lokal ke PKN pada pukul 15.30 WIB.
Jadwal kliring di atas adalah pada level bank, sedangkan pada level nasabah dilakukan lebih awal sesuai dengan jadwal yang ditetapkan masing-masing bank.
Berikut adalah ilustrasi proses kliring di indonesia:
Pak E memiliki rekening giro di Bank A. Pak E membeli barang pada pak U yang memiliki tanbungan di Bank X. Pembayaran dilakukan oleh Pak E dengan cek Bank A. Pak U menyerahkan cek tersebut ke Bank X untuk diproses. Proses selanjutnya dalah Bank X mengirim cek tersebut ke BI dimana disana berkumpul bank-bank yang menjadi peserta kliring. Bank X mengirim cek tresebut ke perwakilan Bank A. Bank A membawa cek tersebut ke bank A untuk melakukan pengecekan apakah saldo Pak E cukup untuk pencairan cek tersebut. apabila saldo mencukupi Bank A akan memberitahukan  kepada Bank X pada sesi kedua bahwa cek tersebut diterima dan transaksi terjadi. Namun jika dana tidak mencukupi cek tersebut akan ditolak oleh bank A dan tidak akan diproses. Sehingga Bank X akan mengabarkan Pak U kalo cek tersebut gagal dicairkan.
Berdasarkan ilustrasi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sistem kliring adalah proses penyelesaian hutang piutang yang melibatkan lebih dari satu bank umum.

JENIS-JENIS CEK

Posted by : D.I April 22, 2012
Konsep Macam-macam Cek
1. Cek atas nama adalah cek yang nama pemiliknya dituliskan pada cek tersebut dan bank hanya akan membayar kepada orang atau badang tersebut.
2. Cek atas unjuk adalah cek yang tertera tulisan atas nama pembawa. Bank akan membayar kepada siapa saja yang membawa atau menunjukkan dan menguangkan cek kepada bank.
3. Cek tunai atau cash cheque adalah cek yang dapat dicairkan secara tunai kepada bank, baik cek atas nama maupun atas unjuk.
4. Cek silang atau cross cheque adalah cek yang disilang dengan dua garis pada pojok kiri atas penariknya )drawer) dengan tujuan cek tersebut hanya dapat dipindahbukukan.
5. Cek mundur atau postdated cheque adalah cek yang tanggal jatuh temponya mundur atau diberi tanggal kemudian.
6. Cek kosong adalah cek yang dananya kurang atau tidak ada dana yang tersedia pada saat dicairkan atau dipindahbukukan.
7. Cek kadaluwarsa adalah cek yang masa berlakunya telah habis (lewat 70 hari) dari tanggal jatuh temponya.
8. Cek bank atau wesel cek adalah cek yang diterbitkan oleh bank untuk nasabah, baik atas nama maupun atas unjuk dan di bank mana dicairkan. Bank penerbit dan bank pencairan harus merupakan bank yang sama antarkota.
9. Cek pos adalah cek yang diterbitkan oleh kantor pos dan pencairannya di kantor pos tujuan nasabah.
10. Cek perjalanan atau traveler cheque adalah cek khusus yang diterbitkan oleh suatu bank dalam bentuk yang tercetak (preprinted) dalam jenis mata uang dan denominasi tertentu untuk setiap lembarnya.


 
JENIS TRANSAKSI KLIRING APA SAJA YANG BISA DILAKUKAN 

Transaksi kliring yang dapat dilakukan meliputi:
1. Transfer debet (menggunakan cek, bilyet giro
atau warkat debet lainnya); dan
2. Transfer kredit (mengisi formulir isian yang disediakan oleh bank) yang kemudian akan dikirim oleh bank melalui data keuangan elektronik yang disediakan dalam SKNBI.
Batasan Nominal
1. Nilai nominal warkat debet tidak dibatasi kecuali
untuk warkat debet yang berupa nota debet,
yaitu setinggi-tingginya Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) per nota debet.
Pembatasan nilai nominal pada nota debet tidak
berlaku apabila nota debet diterbitkan oleh Bank
Indonesia dan ditujukan kepada bank atau
nasabah bank.
2. Khusus untuk transfer kredit, nilai transaksi yang
dapat diproses melalui kliring dibatasi di bawah
Rp100.000.000,00 sedangkan untuk nilai
transaksi Rp100.000.000,00 ke atas harus
dilakukan melalui Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS)*.
Secara umum kliring melibatkan lembaga keuangan yang memiliki permodalan yang kuat yang dikenal dengan sebutan mitra pengimbang sentral (MPS) atau disebut juga central counterparty . MPS ini menjadi pihak dalam setiap transaksi yang terjadi baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Dalam hal terjadinya kegagalan penyelesaian atas suatu transaksi maka pelaku pasar menanggung suatu risiko kredit yang distandarisasi dari MPR .
Di Amerika, kliring antar bank dilaksanakan melalui Automated Clearing House (ACH), dimana aturan dan regulasinya diatur oleh NACHA-The Electronic Payments Association,yang dahulu dikenal dengan nama National Automated Clearing House Association, serta Federal Reserve. Jaringan ACH ini akan bertindak selaku pusat fasilitas kliring untuk semua transaksi transfer dana secara elektronik. Kliring antar bank atas cek dilaksanakan oleh bank koresponden dan Federal Reserve.
Di Indonesia, untuk kliring antar bank atas transfer dana secara elektronik dan atas cek dilaksanakan oleh Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral. Sedangkan proses kliring atas transaksi efek dilaksanakan oleh P.T Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) dan proses kliring atas transaksi kontrak berjangka dilaksanakan olek P.T Kliring Berjangka Indonesia (KBI)
 

      Bank yang termasuk sebagai peserta kliring adalah bank umum yang berada dalam wilayah kliring tertentu dan tidak dihentikan kepesertaanya dalam kliring oleh Bank Indonesia. Sebuah bank dapat dilarang untuk mengikuti kliring karena bebagai alasan. Pada dasarnya alasan tersebut berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan. Bank Indonesia atau ketidak mampuannya untuk menyelesaikan kewajiban giralnya. Sebagai contoh, apabila jumlah kewajiban dari suatu perserta melampaui jaminan kliring yang tersedia pada penyelenggara, maka peserta yang bersangkutan diberi kesempatan untuk menyelesaikan saldo negative itu dalam 30 menit setelah pertemuan kliring retur ditutup. Jika sampai batas waktu tersebut yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan juga maka atas persetujuan Bank Indonesia penyelenggara dapat memperpanjang batas waktu termaksud sampai hari kliring berikutnya sebelum kas dari kantor penyelenggara dibuka. Apabila saldo negative tidak dapat diselesaikan juga, maka peserta itu dihentikan sementara dari keikutsertaanya dalam kliring. Kliring diselenggarakan setiap hari kerja, sedangkan pertemuan kliring diadakan dua kali sehari yang jadwalnya ditetapkan oleh penyelenggara. Jika salah satu peserta kliring karena suatu hal tidak dapat turut serta dalam kliring, peserta tersebut wajib mengajukan permohonan pada penyelenggara kliring sepuluh hari sebelumnya. Alasan permohonan pengunduran diri antara lain :
  1. Kesulitan keuangan sehingga tidak dapat memenuhi syarat-syarat ikut kliring.
  2. Masalah dalam kepengurusan seperti perselisihan dan lain-lain.
    Bila permohonan telah disetujui maka peserta yang bersangkutan diwajibkan mengemukakan hal tersebut dalam surat kabar yang mempunyai peredaran yang luas di tempat tersebut. Penyelenggara akan mengemukakan hal tersebut pada peserta dua hari kerja sebelum hari efektif bank bersangkutan tidak ikut kliring. Hal ini dikecualikan untuk kejadian yang sifatnya force majeur, seperti misalnya bencana alam, kebakaran, pemogokan, sabotase, dan lain-lain.
Ada dua macam penyertaan dalam kliring, yaitu :
  1. Penyertaan langsung, yaitu perhitungan warkat secara langsung dalam pertemuan kliring, dan yang dapat ikut dalam penyertaan langsung adalah kantor Bank Indonesia dan kantor pusat bank umum beserta kantor-kantor cabangnya.
  2. Penyertaan tidak langsung, yaitu perhitungan warkat dalam pertemuan kliring oleh suatu kantor bank melalui kantor pusat dari bank tersebut atau melalui salah satu kantor cabang yang lain. Penyertaan tidak langsung ini bisa terjadi karena berbagai hal, antra lain apabila suatu bank mempunyai masalah untuk ikut kliring secara langsung, maka dapat menjadi peserta secara tidak langsung. Masalah bisa berkaitan dengan keuangan, jarak antara bank yang bersangkutan dengan penyelenggara kliring, dan lain-lain.
Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu kantor bank umum agar dapat menjadi peserta kliring yaitu :
  1. Suatu kantor bank umum diwajibkan ikut serta dalam kliring, setelah mendapat persetujuan Bank Indonesia.
  2. Mempunyai izin usaha yang sah.
  3. Keadaan administrasi dan keuangan memungkinkan bank itu untuk memenuhi kewajibannya dalam kliring.
  4. Simpanan masyarakat dalam bentuk giro dan kelonggaran tarik kredit yang diberikan oleh kantor tersebut telah mencapai sekurang-kurangnya 20% dari syarat modal disetor minimum bagi pendirian bank baru di wilayahnya.
  5. Menyetor jaminan kliring sebesar 50% rata-rata kewajiban 20 hari terakhir dikurangi 40% rata-rata tagihan harian 20 hari terakhir. Kewajiban ini hanya berlaku bagi kantor bank yang baru menjadi peserta kliring atau yang baru direhabilitasi. Jaminan kliring ini berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penyetoran. Kewajiban menyetor jaminan kliring ini tidak berlaku bagi peserta tidak langsung atau peserta yang pindah wilayah kliring.
  6. Bank peserta menunjuk beberapa orang wakil tetap pada lembaga kliring. Pemberitahuan mengenai wakil tetap ini disampaikan secara tertulis kepada Bank Indonesia dengan dilampiri contoh tanda tangan dan paraf dari wakil-wakil tersebut. Wakil ini terdiri atas :
  7. Golongan A, hanya berwenang untuk membuat, mengubah, memberikan tanda terima, dan menandatangani daftar rekapitulasi, neraca dan bilyet saldo kliring.
  8. Golongan B, di samping melaksanakan yang dilakukan golongan A, golongan ini juga berwenang untuk mengubah, menambah, dan menandatangani surat penolakan.


REFERENSI:

Kamis, 30 April 2015

Pengaruh Penyaluran Kreatif Mikro terhadap perkembangan UMKM di bidang Industri Kreatif

BAB I
PENDAHULUAN
  • Latar Belakang
Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan usaha yang tangguh di tengah krisis ekonomi. Saat ini sekitar 99% pelaku ekonomi mayoritas adalah pelaku usaha UMKM yang terus tumbuh secara signifikan dan menjadi sektor usaha yang mampu menjadi penopang stabilitas perekonomian nasional. UMKM makin tahan banting dan tetap optimistis di tengah krisis. Ketika terjadi krisis global pelaku UKMKM tetap bergerak. Pemerintah telah memberikan upaya-upaya pemberdayaan berupa kebijakan, program dan kegiatan untuk semakin menguatkan sektor UMKM ini.
Namun upaya pemberdayaan tersebut belum memberikan hasil yang maksimal dan membawa daya ungkit (leverage) yang kuat bagi para pelaku UMKM pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)  merupakan pelaku bisnis yang bergerak pada berbagai bidang usaha, yang menyentuh kepentingan masyarakat. Berdasarkan data BPS (2003), populasi usaha kecil dan menengah (UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di tanah air. UKM memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Semenrtara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen.
Dalam proses pemulihan ekonomi Indonesia, sektor UMKM memiliki peranan yang sangat stategis dan penting yang dapat ditinjau dari berbagai aspek. Pertama, jumlah industrinya yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2002, jumlah UMKM tercatat 41,36 juta unit atau 99,9% dari total unit usaha. Kedua, potensinya yang besar dalam penyerapan tenaga kerja. Setiap unit investasi pada sektor UMKM dapat menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bila dibandingkan dengan investasi yang sama pada usaha besar. Sektor UMKM menyerap 76,55 juta tenaga kerja atau 99,5% dari total angkatan kerja yang bekerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukan PDB cukup signifikan yakni sebesar 55,3% dari total PDB.
Salah satu upaya peningkatan dan pengembangan UMKM dalam perekonomian nasional dilakukan dengan mendorong pemberian kredit modal usaha kepada UMKM.  Dari sudut perbankan, pemberian kredit kepada UMKM menguntungkan bagi bank yang bersangkutan. Pertama, tingkat kemacetannya relatif kecil. Hal ini terutama disebabkan oleh tingkat kepatuhan nasabah usaha kecil yang lebih tinggi dibandingkan nasabah usaha besar. Kedua, pemberian kredit kepada UMKM mendorong penyebaran risiko, karena penyaluran kredit kepada usaha kecil dengan nilai nominal kredit yang kecil memungkinkan bank untuk memperbanyak jumlah nasabahnya, sehingga pemberian kredit tidak terkonsentrasi pada satu kelompok atau sektor usaha tertentu. Ketiga, kredit UMKM dengan jumlah nasabah yang relatif lebih banyak akan dapat mendiversifikasi portofolio kredit dan menyebarkan risiko penyaluran kredit. Keempat, suku bunga kredit pada tingkat bunga pasar bagi usaha kecil bukan merupakan masalah utama, sehingga memungkinkan lembaga pemberi kredit  memperoleh pendapatan bunga yang memadai. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa ketersediaan dana pada saat yang tepat, dalam jumlah yang tepat, sasaran yang tepat dan dengan prosedur yang sederhana lebih penting dari pada bunga murah maupun subsidi.
Namun dari beberapa hal yang melatar belakangi seperti tersebut di atas, masih belum cukup menjadi landasan keyakinan bahwa pelaku UMKM akan mendapatkan kemudahan dalam hal pengajuan fasilitas kredit modal usaha ke lembaga-lembaga pemberi kredit baik perbankan maupun non perbankan.  Hingga saat ini masih banyak pelaku UMKM yang mengalami permasalahan dalam hal pengajuan kredit usaha.
  • Rumusan Masalah
UMKM di indonesia memang menjadi sorotan bagi pemerintah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan perkembangan perekonomian daerah, banyak kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam mengembangkan UMKM. Kendala pengembangan UMKM tersebut antara lain berasal dari internal dan eksternal. Kendala internal meliputi kurangnya permodalan, keterbatasan sumber daya manusia dan lemahnya jaringan usaha Sementara itu kendala eksternal meliputi iklim usaha yang belum kondusif, terbatasnya sarana dan prasarana, implikasi otonomi daerah dan perdagangan bebas, sifat produk dengan lifetime rendah dan keterbatasan akses pasar.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di tarik beberapa permasalahan, di antaranya:
  1. Bagaimana perkembanagan UMKM di Indonesia?
  2. Bagaimana peranan UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi?
  3. Bagaimana strategis pengembangan UMKM di indonesia?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Sri Winarti (2004) dengan mempertimbangkan peran penting UMKM dalam berbagai aspek perekonomian dan dalam upaya percepatan pemulihan kegiatan ekonomi, Bank Indonesia memberikan dukungan dalam pengembangan UMKM. Dukungan Bank Indonesia ini termasuk juga dalam rangka mendorong pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan menciptakan kondisi perbankan yang sehat.
Dalam rangka mendukung pemberdayaan dan pengembangan UMKM terutama dalam mendorong penyaluran kredit kepada UMKM, upaya Bank Indonesia antara lain melalui penerapan kebijakan kredit, pemberian bantuan teknis kepada UMKM melalui Konsultan Keuangan Mitra Bank, penelitian mengenai pola pembiayaan kepada UMKM, penyediaan sistem informasi pembiayaan usaha kecil dan pemberian bantuan teknis.
BAB III
PEMBAHASAN
  • Perkembangan UMKM di Indonesia
Perkembangan peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang besar ditunjukkan oleh jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan nasional, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, persentase jumlah UMKM sebesar 99,9 persen dari seluruh unit usaha, yang terdiri dari usaha menengah sebanyak 62,0 ribu unit usaha dan jumlah usaha kecil sebanyak 42,3 juta unit usaha yang sebagian terbesarnya berupa usaha skala mikro. UMKM telah menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 persen dari jumlah tenaga kerja pada tahun 2004 jumlah UMKM diperkirakan telah melampaui 44 juta unit. Jumlah tenaga kerja ini meningkat rata-rata sebesar 3,10 persen per tahunnya dari posisi tahun 2000. Kontribusi UMKM dalam PDB pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, naik dari 54,5 persen pada tahun 2000. Sementara itu pada tahun 2003, jumlah koperasi sebanyak 123 ribu unit dengan jumlah anggota sebanyak 27.283 ribu orang, atau meningkat masing-masing 11,8 persen dan 15,4 persen dari akhir tahun 2001.
Berbagai hasil pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tahun 2004 dan 2005, antara lain ditunjukkan oleh tersusunnya berbagai rancangan peraturan perundangan, antara lain RUU tentang penjaminan kredit UMKM dan RUU tentang subkontrak, RUU tentang perkreditan perbankan bagi UMKM, RPP tentang KSP, tersusunnya konsep pembentukan biro informasi kredit Indonesia, berkembangnya pelaksanaan unit pelayanan satu atap di berbagai kabupaten/kota dan terbentuknya forum lintas pelaku pemberdayaan UKM di daerah, terselenggaranya bantuan sertifikasi hak atas tanah kepada lebih dari 40 ribu pengusaha mikro dan kecil di 24 propinsi, berkembangnya jaringan layanan pengembangan usaha oleh BDS providers di daerah disertai terbentuknya asosiasi BDS providers Indonesia, meningkatnya kemampuan permodalan sekitar 1.500 unit KSP/USP di 416 kabupaten/kota termasuk KSP di sektor agribisnis, terbentuknya pusat promosi produk koperasi dan UMKM, serta dikembangkannya sistem insentif pengembangan UMKM berorientasi ekspor dan berbasis teknologi di bidang agroindustri. Hasil-hasil tersebut, telah mendorong peningkatan peran koperasi dan UMKM terhadap perluasan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan peningkatan pendapatan.
Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut perolehan legalitas formal yang hingga saat ini masih merupakan persoalan mendasar bagi UMKM di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam pengurusan perizinan. Sementara itu, kurangnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan (struktur organisasi, struktur kekuasaan, dan struktur insentif) yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best practices) telah menyebabkan rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi. Bersamaan dengan masalah tersebut, koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan teknologi.
Secara umum, perkembangan koperasi dan UMKM dalam tahun 2006 diperkirakan masih akan menghadapi masalah mendasar dan tantangan sebagaimana dengan tahun sebelumnya, yaitu rendahnya produktivitas, terbatasnya akses kepada sumber daya produktif, rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, dan tertinggalnya kinerja koperasi.
Pada tahun 2008, kontribusi UMKM terhadap penciptaan devisa nasional melalui ekspor non migas mengalami peningkatan sebesar Rp. 40,75 triliun atau 28,49% yaitu dengan tercapainya angka sebesar Rp. 183,76 triliun atau 20,17% dari total nilai ekspor non migas nasional (www.bps.go.id). Selanjutnya pada tahun 2008, kontribusi UMKM terhadap total PDB nasional adalah sebesar Rp. 1.165,26 triliun atau 58,33%.
Kemudian pada tahun 2008, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 90.896.270 orang atau 97,04% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada. Jumlah ini meningkat sebesar 2,43% atau 2.156.526 orang dibandingkan tahun sebelumnya. UMKM masih akan menjadi primadona bagi pengemabngan ekonomi daerah di masa mendatang. Banyak program yang telah dijalankan untuk memberdayakan UMKM sejak hampir 10 tahun yang lalu, namun hasilnya sampai saat ini belum menggembirakan. Sehingga perlu dicarikan Model baru yang berbeda dengan yang sebelumnya agar UMKM tidak jalan di tempat.
Dibutuhkan usaha-usaha strategik guna memberdayakan UMKM agar dapat menjadi penopang perekonomian lokal seperti yang terjadi di Jepang dan Taiwan. Oleh karena itu upaya mengembangkan dan memberdayakan UMKM agar hasil yang diperoleh memiliki multiplier effect yang tinggi menjadi sangat penting saat ini, khususnya dalam meningkatkan daya saing. Dengan daya saing itu diharapkan bisa meningkatkan pendapatan UMKM , tidak tergilas perdagangan bebas, dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Kini UMKM memiliki peluang untuk terus berkembang.
Perkembangan UMKM di Indonesia masih terhambat sejumlah persoalan. Beberapa hal yang masih menjadi penghambat dalam pengembangan UKM ditinjau dari dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal UKM, dimana penanganan masing-masing faktor harus bersinergi untuk memperoleh hasil yang maksimal, yaitu: (1) Faktor Internal : merupakan masalah klasik dari UKM yaitu lemah dalam segi permodalan dan segi manajerial (kemampuan manajemen, produksi, pemasaran Simposium Nasional 2010: Menuju Purworejo Dinamis dan Kreatif – 3 dan sumber daya manusia); (2) Faktor Eksternal : merupakan masalah yang muncul dari pihak pengembang dan pembina UKM, misalnya solusi yang diberikan tidak tepat sasaran, tidak adanya monitoring dan program yang tumpang tindih antar institusi.
Dalam sketsa ekonomi nasional, setelah terjadi krisis ekonomi usaha mikro kecil menengah lebih efisien dan memiliki ketahanan yang lebih baik di bandingkan dengan usaha besar, sedangkan UMKM sendiri terbukti berkembang dan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Untuk mengetahui banyak sedikitnya UMKM yang berkembang di indonesia dapat di lihat melalui tabel berikut:
Dari tahun ke tahun UMKM yang di adakannya termasuk industri kecil di indonesia semakin meningkat. Rata-rata kenaikan jumlah unit usaha UMKM sebesar 3.55% atau sebesar 1.574.696 tiap tahunnya, namun yang paling besar pengaruhnya terlihat pada tahun 2009 sebesar 8.25% atau sebesar 3.885.548 dari 47.109.555 unit UMKM.
  • Peranan UKM Dalam Perekonomian
Sejarah perekonomian telah ditinjau kembali untuk mengkaji ulang peranan usaha skala kecil menengah (UKM). Beberapa kesimpulan, setidak-tidaknya hipotesis telah ditarik mengenai hal ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat sebagaimana terjadi di Jepang, telah dikaitkan dengan besaran sektor usaha kecil. Kedua, dalam penciptaan lapangan kerja di Amerika Serikat sejak perang dunia II, sumbangan UKM ternyata tak bisa diabaikan (D.L. Birch, 1979).
Negara-negara berkembang yang mulai mengubah orientasinya ketika melihat pengalaman di negara-negara industri maju tentang peranan dan sumbangan UKM dalam pertumbuhan ekonomi. Ada perbedaan titik tolak antara perhatian terhadap UKM di negara-negara sedang berkembang (NSB) dengan di negara-negara industri maju. Di NSB, UKM berada dalam posisi terdesak dan tersaingi oleh usaha skala besar. UKM sendiri memiliki berbagai ciri kelemahan, namun begitu karena UKM menyangkut kepentingan rakyat/masyarakat banyak, maka pemerintah terdorong untuk mengembangkan dan melindungi UKM. Sedangkan di negara-negara maju UKM mendapatkan perhatian karena memiliki faktor-faktor positif yang selanjutnya oleh para cendekiawan (sarjana –sarjana) diperkenalkan dan diterapkan ke NSB.
  • Strategi Pengembangan UMKM
Untuk itu dalam rangka lebih mengembangkan UMKM,  maka ada beberapa startegi yang dapat dilakukan antara lain adalah:
  • Mengoptimalkan peran KKMB dalam membina dan melakukan pendampingan para UMKM prospek yang akan mengajukan permohonan kredit usaha
  • Mensosialisasikanpembiayaan bagi hasil atau modal ventura
  • Meningkatkan peran serta lembaga penjamin kredit untuk para UMKM prospek yang terbentur akan adanya persyaratan agunan.  Diharapkan dengan dilaksanakannya strategi-strategi di atas, para UMKM prospek tidak lagi mengalami kesulitan dalam hal pengajuan kredit modal usaha dari Lembaga Penyalur Kredit.
Pemberdayaan UMKM Dalam Perekonomian
Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Dengan demikian upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro, meso dan mikro yang meliputi:
  • penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi;
  • pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia;
  • pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM);
  • pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.
Kedudukan UMKM di Indonesia
Kedudukan UKM dalam perekonomian Indonesia paling tidak dapat dilihat dari :
  • Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor;
  • Penyedia lapangan kerja yang terbesar;
  • Pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat;
  • Pencipta pasar baru dan inovasi; serta
  • Sumbangan dalam menjaga neraca pembayaran melalui sumbangannya dalam menghasilkan ekspor.
Secara garis besar kebijakan Pemerintah dalam pengembangan UKM semasa krisis dimulai dengan menggerakkan sektor ekonomi rakyat dan koperasi untuk pemulihan produksi dan distribusi kebutuhan pokok yang macet akibat krisis Mei 1998. Hingga akhir tahun 1999 upaya ini secara meluas didukung dengan penyediaan berbagai skema kredit
program yang kemudian mengalami kemacetan. Sejak 2000 dengan keluarnya UU 25 tentang PROPENAS secara garis besar kebijakan pengembangan UKM ditempuh dengan tiga kebijakan pokok yaitu;
  • penciptaan iklim kondusif,
  • Meningkatkan akses kepada sumberdaya produktif, dan
  • pengembangan kewirausahaan.  
Referensi :
https://nadyagusnitas.wordpress.com/2015/04/ 

Kredit Serba Guna Bank Bukopin


Kredit Serba Guna

Kredit khusus karyawan untuk keperluan konsumsi seperti :
biaya pendidikan, pembelian peralatan rumah tangga, perjalanan wisata, dan lain-lain.


Mudah


·         Mudah persyaratan


Murah


·         Kredit bisa didapatkan dengan biaya murah dan terjangkau


Ringan


·         Angsuran ringan, tetap dengan suku bunga kompetitif


Cepat


·         Persetujuan prinsip bisa diperoleh hanya dalam waktu 1 (satu) jam


Tanpa Agunan


·         Kredit dapat diperoleh tanpa menyerahkan agunan


Syarat dan Ketentuan Umum


·         Warga Negara Indonesia


·         Usia 21 - 55 tahun


·         Masa pekerjaan diperusahaan terakhir minimum 2 tahun dengan status

karyawan tetap


·         Pendapatan bersih minimum Rp. 2 juta per bulan


·         Plafond kredit Rp. 25 juta sampai dengan Rp. 100 juta


·         Jangka waktu kredit sampai dengan 5 tahun


Dokumen yang harus dilengkapi


·         Fotokopi KTP/SIM/Paspor pemohon dan suami atua istri pemohon


·         Fotokopi Kartu Keluarga


·         Rekening Koran Tabungan 3 bulan terakhir


·         Tagihan Kartu Kredit 3 bulan terakhir


·         Surat Keterangan Bekerja sebagai Karyawan Tetap


·         Slip Gaji terakhir


·         NPWP atau SPT PPh 21*
*) pinjaman di atas Rp.100 juta

Untuk informasi lebih lanjut hubungi segera Kantor Bank Bukopin terdekat atau
telepon langsung ke nomor 14005

Brosur Kredit Serba Guna Bank Bukopin:



Referensi: